28 May 2008

Dear Fair...(Part 3)



Temanku bilang padaku
“aku terharu memandang hasilku”
Lalu hatikupun bergumam serupa padamu

Kita berhasil mengawali dengan sejuta ekpektasi
Dan akan mengakhiri dengan sejuta suksesi
Terima kasih tak terperi
Dan maaf tak terberi
Karena terkadang emosi menghinggapi
Membuatku ingin berlari
Meninggalkanmu dalam sunyi
Namun dalam sepi
Aku tahu tak boleh berhenti

Kamu adalah salah satu kunci yang bisa mengubah dunia
Namun terlebih dahulu mengubahku untuk sedikit lebih mulia

Serupa angan di siang hari
Aku meyakini
Sedari awal hingga diakhiri
Bahwa kamu berarti
Apabila banyak orang mengerti
Dan serupa mimpi dimalam hari
Aku mau memberi
Sedikit harapan di suatu hari
Dunia akan lebih berseri
Apabila ‘adil’ diterapkan dalam transaksi

25 May 2008

Hell yeah Coelho!

Masih dalam insomn-session yang sama, saya juga menemukan penggalan menarik dari Coelho's, "Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu" di 'buku sakti' saya. Karena saya baca versi indonesianya, maka kutipannya juga dalam bahasa indonesia. Begini tulisannya,

"...kebahagiaan terkadang adalah berkah, tapi seringkali adalah penaklukan. Momen-momen magis itu menolong kita berubah dan melontarkan kita mencari mimpi-mimpi. Ya, kita akan menderita, bertemu waktu-waktu sulit, dan mengalami banyak kecewa-tapi semua ini hanya sementara; jejaknya tidak kekal. Dan suatu hari kelak, kita akan menoleh ke belakang dengan kebanggaan dan keyakinan akan perjalanan yang telah ditempuh..."

HELL YEAH COELHO, YOU ROCK!

Berkompromi Dengan Konfrontasi

here i am in another insomn-session, akirnya ended up buka2 beberapa 'buku sakti' saya sebelum (dgn tlatnya) menyentuh teknologi blog ini haha. Yeah, i might say that as the so called diary or whatsoever. Pas buka-buka nemu tulisan teman saya, 'my long-lost friend', Mas Rangga Wiraspati (if one day you stopping by,hai 'ngke!haha) yg (bwat saya) sangat menarik.

Tiba-tiba saya sadar maksud tulisan dia, dalam konteks saat itu dan rentang waktu kala itu. Mungkin teman saya ini bahkan sudah lupa pernah menuliskan sesuatu di buku saya waktu itu.

Tapi yang pasti, saya baru sadar betapa dia sangat benar dengan segala ucapannya di tulisan itu.Setidaknya, dia menyadarkan saya tentang sesuatu. You right, 'ngke! I should've confront myself! well, but i did..i still have that confrontation with me until today. In this very moment. I tried to get rid of it, but I can't! so, I decided to live with it..well, at least i compromised myself to it

Anyway, begini tulisannya,

Menuai Badai

Sometimes I think God has create you to create me...-The Amazing You

Sudahkah kita berkonfrontasi hari ini? Sesuatu yang selalu kita tunggu untuk kita keluarkan. Sangat esensial. Konfrontasi tidak harus selalu bermakna negatif. Konfrontasi sangatlah manusiawi, sebab sebelumnya kita berpikir ke dalam, sesuatu yang jarang kita lakukan ketika kesibukan sehari-hari menghimpit. Dalam berkonfrontasi kita sebenarnya didorong oleh rasa cinta yang besar. Maka, berkonfrontasilah dengan diri anda terlebih dahulu.


I wondering does anyone ever had a confrontation with themself? or am I just a weirdo have lived with my confrontation until today?

20 May 2008

Dear Fair...(part 2)

Give me sugar kills, fair
A rice krispies or pocky strips

Play me a swing, fair
The sound of Ella or Nina

Take me to Aruanda, fair
Where nobody hurries nobody worries

Send me Mr. Blue sky or mango margarita, fair
Just to dance me trough my morning powder session

Tap me on my shoulder, fair
Just to stop my blanket cry-ing

Give me a finishing, fair
So then we could say goodbye and goodluck

Till then it will be a memory, fair
Between you and me

19 May 2008

F.U.T.U.R.E

Ini tulisan saya satu setengah tahun yang lalu dan rasanya masih pas banget menggambarkan saya, si penulis, satu setengah tahun kemudian. Hidup rasanya seperti tenggat waktu, harus berlari atau dihabisi. Saya terus berlari tidak peduli tersandung atau jatuh, hanya agar bisa berseri kemudian hari. Atau mungkin supaya lupa rasanya perih dan nyeri sandungan bisa hilang sendiri.

We’ve only just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we’re on our way
We’ve only begun.
Before the rising sun
We fly
So many roads to choose
We started out and learn to run
And yes we’ve just begun
Sharing horizons that are new to us
Watching the sands along the way


(We’ve only just begun-Carpenters)

Merenungi awal tahun yang baru dengan kesadaran akan waktu yang terus melaju sepertinya memberi satu pemahaman baru buat diri sendiri. Pemahaman bahwa di tingkatan sekarang ini, hidup seperti berada di persimpangan jalan. Berada dalam perjuangan menuju akhir dari proses pembelajaran akademis yang walaupun belum akan berakhir secepat itu namun nyatanya mengharuskan kita berpikir tentang suatu hal. MASA DEPAN. Beberapa teman pun menyadari hal tersebut, dan mulai berpikir dalam banyak sudut pandang. Pertanyaan “mau jadi apa?” dan ketakutan “tidak menjadi apa-apa” mulai bermunculan. Selain itu, kesedihan akan masa-masa kebersamaan yang tinggal sebentar lagi pun terlontar. Meminjam judul lagu Carpenters diatas, “We’ve only just begun to live”. Saat ini hanyalah permulaan dari kehidupan yang sesungguhnya. Ada banyak jalan yang harus dipilih, kita memulainya dengan proses pembelajaran untuk sampai pada akhirnya dapat berlari dengan tetap memperhatikan pasir atau batu sandungan yang mungkin dapat menghambat kita. Tampaknya hal ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan berat untuk kita semua, namun nyatanya inilah hidup kawan...

Sejujurnya gw sangat takut dengan segala histeria dan angan-angan tentang masa depan. Masa depan yang sekarang kita bicarakan bukan lagi impian remaja muda yang berkhayal bersama gerombolan seusianya. Masa depan yang satu ini tepat didepan mata, berusaha diraih namun tersentuh pun tidak. Dan bagian paling menakutkan buat gw adalah karena deep down inside, I know what I want and damn it scares me a lot!! Huhf..a huge desire come with the great consequences!! Akankah angan-angan itu bisa ‘menghabisi’ kita secara perlahan? Akankah kenaifan dan idealisme dapat dipertahankan? Atau haruskah itu diubah? Ketakutan itu pun semakin memuncak ketika pertanyaan besar pun semakin terngiang di kepala, “AM I GOOD ENOUGH?” gw ragu apakah gw cukup baik untuk angan-angan gw itu? Apakah ketertarikan dan kecintaan terhadap sesuatu saja cukup untuk membuat gw berhasil dan menjadi ‘seseorang’?

Namun ketakutan saja tidak akan berguna apabila tidak dibarengi dengan kerja keras. Maka marilah kita berusaha…Untuk semua masa depan yang menghampar di depan mata, untuk berbagai pengharapan yang mengiringi setiap langkah, untuk mimpi-mimpi yang senantiasa berada di kepala…dan untuknya pula, belum terlambat untuk mengucapkan SEMOGA-BERHASIL smuanyaaaa!!! I wish you all the biggest luck in life…

13 May 2008

Jean-Do is My Hero!

“I decided to stop pitying myself. Other than my eye, two things
aren't paralyzed, my imagination and my memory”

"In my head, I churn over every sentence 10 times, delete a word,
add an adjective and learn my text by heart, paragraph by paragraph,"


(Jean Dominique Bauby)

----

Yang Maha punya kuasa
Manusia punya usaha
Daripada hanya putus asa
Lebih baik berupaya
Menjadi lebih berharga

----
if you ask for such beauty lately, it probably would be Julian Schnabel’s “The Diving Bell and the Butterfly”..I mean, for the love of Alaia (as the name being spoken in the film), besides the fact that he’s the editor in chief of Elle French (which is so cool! haha) one of the masterpiece in this world happen and started by a BLINK! He is SUPER WOW, UBER-COOL! and Schnabel just filmed it sooo beautifuly amazing for me to say! The felt within the brain, the fantasy within real, the passionated and unpassionated, the abilities and the disabilities. It just VISUALLY PRETTY! It’s a must-see! definitely...

11 May 2008

Anything Goes

In olden days a glimpse of stocking
Was looked on as something shocking,
But now, God knows,
Anything goes.
Good authors too who once knew better words
Now only use four-letter words
Writing prose,
Anything goes.
If driving fast cars you like,
If low bars you like,
If old hymns you like,
If bare limbs you like,
If Mae West you like,
Or me undressed you like,
Why, nobody will oppose.
Anything goes.

-Cole Porter-

For knowing that dreaming become reaching, for doing something could be struggling, for welcoming future in now knowing..hoping that tomorrow will be more surprising and thank you for yesterday very mesmerizing! THANK YOU GOD FOR GIVING THIS OPPORTUNITY!i’ll do my best .. and last, whatever come, whatever done..anything goes..

23 April 2008

Sebuah Momen A-ha Tentang Sampah dan Informasi

Sebuah petikan menarik saya dapat ketika membaca artikel tentang kisah Pak Bondan Winarno si pembawa acara Wisata Kuliner yang terkenal itu. Sebelumnya beliau adalah seorang jurnalis senior dan penulis sejumlah buku. Dalam bagian artikel itu beliau berkata tentang kebiasaannya menulis. “...intinya adalah outlaw of input-output, ketika banyak informasi yang masuk yang masuk ke otak kita, maka informasi itupun akan semakin membanjiri isi otak kita, dan supaya informasi itu tidak menjadi sampah caranya adalah dengan menuliskannya. Kira-kira demikian ucapannya.

Saya setuju dengan pendapat Pak Bondan, dan mungkin banyak orang juga setuju. Menurut saya, setiap orang punya naluri menulisnya sendiri-sendiri. Demikian banyak orang menulis dengan gaya mereka masing-masing. Dalam cerita dan inspirasinya masing-masing. Dengan kesederhanaan dan kepelikan yang hanya mereka, sang penulis, yang tahu. Mungkin aliran informasi yang mereka terima terlalu deras membanjiri otak mereka. Menstimulus syaraf dan kinerja otak sedemikian rupa sehingga informasi itu melekat. Terus hinggap dalam ingatan seakan meminta untuk dikeluarkan. Jadilah mereka menuliskannya.

Atau mungkin informasi tersebut tidak mereka terima, namun mereka pikirkan. Dalam berbagai ingatan manusia, ada banyak buah pikiran sambil-lalu yang ternyata bisa melekat dalam ingatan. Hal seperti ini mungkin dapat dikategorikan sebagai informasi dalam bentukannya yang lain.

Seperti tingkah laku saya saat ini. Menuliskan petikan artikel yang saya baca, secara tak sadar adalah bentuk informasi yang saya terima. informasi ini sudah saya terima dalam kurun waktu yang cukup lama. Bukan buah pikiran sambil-lalu, hanya seperti percikan sementara di otak seketika saya membacanya. Seperti sebuah momen “A-ha” dengan petikan jarinya. Momen “A-ha” itu terus terngiang dalam benak saya, dan supaya tidak terbuang dan dilupakan begitu saja, saya pun menuliskannya.

Walaupun begitu, ada pula beberapa ingatan saya yang menjadi “sampah”. Setelah saya ingat-ingat, memang tidak semua informasi saya tulis. Tentu saja memang tidak mungkin semua informasi bisa diabadikan lewat tulisan. Dari sekian banyaknya informasi yang diterima, hanya informasi yang ter...atau paling...(silahkan diisi sendiri, jawabannya bisa berbeda satu sama lain) lah yang akan diabadikan. Bisa jadi informasi itu menimbulkan momen “A-ha”, momen “angguk-angguk”, atau momen-momen lainnya. Sehingga menjadi begitu berharga untuk dikenang dalam keabadian sebuah tulisan.

Tulisan inipun membawa penyadaran untuk saya, betapa manusia dapat dengan mudahnya menjadi “kaya” dengan beragam publikasi personal yang dapat mereka hasilkan. Bagaimana penghargaan seorang pribadi dapat diperoleh sedemikian sederhananya dengan menulis. Meskipun tanpa embel-embel sanjungan atau hadiah. Seketika tulisan itu selesai dibuat, hanya dengan memandangnya saja kita akan terbuai oleh kepuasaan dan perasaan yang sesak pun akan disembuhkan.

Kalau Pak Bondan bilang informasi bisa menjadi sampah, maka seperti melestarikan kebersihan lingkungan yang sekarang bergaung, sampah yang satu ini juga perlu mendapat perhatian. Walaupun tidak berbau busuk dan berupa menjijikkan, namun berharga untuk diselamatkan.

10 April 2008

Dear fair..

Menguak tabir si adil tidaklah pelik
Sungguh menarik pun tertarik
Tapi lama-lama juga bikin mendelik

Banyak godaan yang bikin sirik
Banyak rayuan yang bikin melirik

Lalu bagaimana nasib adil di ruang bilik?
Kalau jenuh datang hanya bergidik
Atau geleng-geleng karena berisik

Dear fair i wont try to fail. I’ll be dare. I just need fresh air!

01 April 2008

Cherish the Day

Saya tidak hanya akan bernafas hari ini, saya akan menghidupi hari ini. membuatnya tampak bersinar diantara hari-hari yang lain. Memolesnya dengan kegembiraan luar dalam dan merasakannnya sampai di ujung hari.
Saya akan terus bersenang-senang, ujung bibir saya akan senantiasa tersungging, pikiran saya akan terus mengalir buas dan menginspirasi hari-hari mendatang. Oh yes, this is more than reminishing nor for tributing.
Saya akan menghirupnya dalam-dalam, mendekapnya kuat-kuat, membelalakkan mata lebar-lebar, memekakkan telinga untuk merasakannya. May the spirit be with you throughout the day. Membiarkan diri saya tersenyum meringis, tertawa terbahak-bahak, dan meloncat girang. Terisi dengan kebahagiaan, apapun yang menyenangkan kecuali kesedihan. This is how you live with it. Fulfill it. Blessed for it.
Saya tidak ingin sedih, demikian pula tidak ingin menyesali hari ini. Saya selalu merasa kuat hari ini. Saya selalu merasa disayangi hari ini. Disayangi oleh Yang Kuasa karena memberi hari ini. Diberkati karena pernah diberi hari ini dan sampai saat ini masih bisa menikmati hari ini. Merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena punya hari ini.
Selamat menikmati hari ini! Cherish the Day!

You're ruling the way that I move
And I breathe your air
You only can rescue me
This is my prayer
If you were mine
If you were mine
I wouldn't want to go to heaven
I cherish the day
I won't go astray
I won't be afraid
You won't catch me running
You're ruling the way that I move
You take my air

I Cherish the Day
I won't go astray
I won't be afraid
You won't catch me running
I Cherish the Day
I won't go astray
I won't be afraid
Won't run away
(Cherish the Day-Sade)

29 March 2008

Easy to Please

Sampai musim semi datang sebentar lagi
Pulanglah kembali kemari
Bisikkan saja dalam hati kepulangan yang dinanti

I'm crawling through landmines
Just to feel where you are
Under cover of night I put a pearl in the ground


Sampai hujan turun membasahi
Kembalilah dengan berseri
Teriakkan saja kegempitaan yang sejenak terdiam

I’m crawling through landmines
Just to feel where you’ve been
There’s gauze over my eyes
But you’re leaving this trail

Asa pun datang melihat dibalik jendela
Melirik hati-hati memuaskan rindu yang menganga

I'm crawling through landmines
I know cause I planted them
Under cover of night I put my heart in the ground

Dan asa akan terpuaskan dalam penantiannya
Dalam bisikan dan lirikan
Dalam lamunan dan kesunyian
Dalam lambaian kesederhanaan

( the lyric is taken from St.Vincent-Landmines)

25 March 2008

Alur Tersakiti Dari Sebuah Afeksi

How do you say goodbye to someone you couldn’t imagine living without?
I didn’t say goodbye...
I didn’t say anything...
I just walked away...
(My Blueberry Nights)
Sedemikian banyak orang patah hati dan terkikis mati. Mereka memilih pergi, menata kembali, berharap bangkit dan memulai lagi. Hidup saya akhir-akhir ini lebih kurang dikelilingi oleh sejumlah kisah berikut perjalanan patah hati. Sebuah kisah datang dari seorang teman yang baru-baru ini mengalaminya. Patah hati dan tersakiti. Ia refleks memilih pergi dari rutinitasnya, menemui kenyamanannya yang lain, berupaya mengusir pilunya. Kisah lain adalah sebuah cerita lama tentang paman seorang teman. Pamannya yang seorang jurnalis senior pernah memutuskan menjadi wartawan perang lantaran hendak pergi jauh mengusir patah hatinya pada si pencuri hati yang belakangan menjadi istrinya. Selain itu, kisah film yang baru-baru ini saya tonton, mengisahkan tentang perjalanan si tokoh utama demi mengusir patah hati karena sang kekasih beralih hati ke sosok yang lain. Ia pergi meninggalkan New York dalam perjalanan 300 hari mengelilingi beberapa wilayah Amerika dan bertemu beberapa kejadian serta berbagai manusia.
Beralih ke diri sendiri, kisah patah hati saya sejauh ini belum memasukkan agenda pergi dan menghilang dari rutinitas. Tidak dalam waktu dekat. Saya sendiri tidak tahu pasti seberapa kering lukanya. Namun cukuplah mengobati dalam kestatisan posisi saat ini. Walaupun keinginan pergi itu tetap terngiang di kepala, rasanya akan ada waktu yang tepat untuk itu. Mungkin suatu saat nanti.
Terkadang saya berpikir, mengapa Yang Maha menciptakan afeksi? Mengapa harus ada alur tersakiti? Dan mengapa banyak orang memilih pergi?. Perasaan memang hal paling absurd dalam kehidupan manusia. Paling tidak bisa dipahami. Terumit dari segala yang pernah ada. Itulah makanya mereka yang tersakiti cenderung ‘hancur’ dalam definisinya masing-masing. Sibuk mengobati karena memang tidak ada penawar yang pasti. Tidak mengenal resep dokter, tidak ada panadol atau procol. Mungkin lantaran bingung dengan kehancurannya, opsi pergi menjadi sebuah titik cerah. Berharap hati dapat diobati sejalan dengan eksplorasi hidup dalam ruang dan pelakon baru.

Sesungguhnya, sejauh apapun kita berlari, senyaman apapun tempat baru yang kita tuju, perasaan sakit itu tetap tinggal diam didalam hati. Berlari itu bukan obat. Berlari dan pergi hanyalah naluri yang humani bagi manusia yang tersakiti. Memang benar adanya kalau ada perkataan “masalah itu untuk dihadapi, bukan untuk dihindari”. Namun tendensi yang muncul adalah ketidakberdayaan kita untuk menghadapi masalah sedemikian rupa sehingga kita memilih untuk pergi.
Saya teringat pernah membaca sebuah artikel, didalamnya si penulis berkata “cara bernegosiasi dengan hidup adalah dengan menikmati kepedihannya”. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa cara menghadapi masalah adalah dengan menikmati masalah itu sendiri. Cara menghadapi patah hati adalah dengan menikmati perasaan patah hati itu sendiri. Dan sesungguhnya inilah bagian terberat dari seluruh rangkaian hidup manusia. Dalam perjuangan menuju kesempurnaan, bagaimana manusia bisa tetap berbesar hati dan berdiri tegak padahal badannya sudah terkoyak ingin runtuh? Bagaimana perasaan yang hancur bisa diperbaiki dengan membuka mata dan membiarkan pandangan bisa kapan saja mengecewakan kita? Dan sekecewa apapun kita, senyuman harus tetap tersungging dari bibir.

Dalam hal ini, rasanya hanya diri sendirilah yang paling mengetahui seberapa besar kekuatan diri. Tidak apa untuk meratap, asalkan tidak tenggelam dalam ratapan tak berujung. Tidak apa untuk menangis, karena itu bisa melegakan sedikit beban yang menghimpit dalam hati. Dan pada akhirnya, tidak apa untuk pergi, kalau itu bisa menentramkan hati yang terombang-ambing. Semoga setelah kembali, harapan baru bersambut dan kegembiraan baru menanti.

12 February 2008

Revolutionary Bully and Still Lovely

Dia adalah salah satu teman baik saya. Otak saya selalu membuat bayangan lekat pada dirinya. Ringan, santai, tanpa beban. Bersamanya membuat saya merasa tidak ada yang perlu dipikirkan. Hanya perlu menjalani hari ini dan nikmati alurnya. Dengan begitu segala ekpektasi dan angan sementara akan pergi jauh. Yang tinggal hanya senyuman paling lebar dan sesengukan tawa dalam canda. Dia selalu mengeluh parasnya terlalu ‘boros’, namun sesungguhnya tarikan-tarikan raut jenakanya merupakan pencitraan paling jelas dari dirinya dan melengkapi personanya dalam takaran yang pas.

Demikian banyak pembelajaran saya dapat darinya. Dia yang mengajarkan untuk menjadikan segala yang rumit menjadi sederhana, tentang the object of affection dan menjalaninya sampai berlalu, untuk menumpahkan sedikit isi tangan saya supaya Tuhan bisa memberi lebih. Dia adalah orang yang selalu jujur menyampaikan kenyataan, bahkan yang pahit sekalipun disaat semua orang menyembunyikannya dibelakang. Dia yang menuntun saya pergi berjalan tanpa henti demi mengeluarkan saya dari pemandangan yang tak ingin saya lihat. Tangannya hanya melingkar di tangan saya seperti yang biasa dia lakukan saat berjalan beriringan. Disaat itu kami hanya melangkah mengelilingi rute-semau-kaki, dan mengajak saya bercakap tentang apa saja, apapun kecuali si topik-tau-sama-tau-takmau-tau saat itu.

Namun terkadang, perhatian dan kepeduliaan dia ungkapkan dalam tindakan yang kurang santun. Terkadang sinisme, bahkan sarkastik. Mungkin memang saya yang terbalut dalam kerapuhan dan kelemahan membuat dia ingin menempa saya lebih kuat dengan tindakan kerasnya. Mungkin pula memang saya yang serba nyaman dengan konservatifitas membuat dia ingin memoles saya dengan sedikit modernitas. Ada kalanya saya berharap dia tidak memaksa saya untuk mabuk, hanya karena saya ingin tetap sadar dalam setiap keriangan dan kegetiran yang hidup tawarkan. Dan saya cukup bahagia dengan tidak memasukkan opsi mabuk dalam konsepsi keputusasaan saya. Saya hanya berharap dia bisa menerima saya dengan segala kompleksitas yang melengkapi ketidaksempurnaan saya. Tidak apa kalau memang tidak bisa dimengerti, karena demikianlah setiap orang terlahir dengan kerumitannya masing-masing dimana hanya diri sendiri yang tahu.

Dalam sejumlah kerumitan saya itu, didalamnya ada sebuah penghargaan berlebih pada waktu. Saya tidak suka sudah bersiap dan tinggal melangkahkan kaki namun yang ada hanya terus menunggu. Sejam berlalu, berganti jam berikutnya. Menunggu dalam pengharapan tak pasti dengan ekspektasi tetap santai, padahal sejumlah aktivitas lebih produktif dapat dilakukan dimana otak terus berpikir namun kehausan karena dikecewakan. Berusaha mencari kabar namun tetap tak berujung seakan saya hanya perlu bersiap kapan pun diinginkan. Menunggu dia dalam keasikan sampai menemui kadar jenuhnya dan kesadaran otak mulai terjaga untuk beranjak pergi. Entah mengapa kadar kekecewaan saya memuncak dan tak bisa ditahan. Namun nyatanya segala amarah pun tak membawa beda. Hanya disambut sambil lalu sembari acuh hingga berlalu. Nyatanya ketika butir demi butir mengalir dalam luapan emosi, tak sedikit pun reaksi saya terima. Terlebih tak sebuah kata maaf yang terlontar.

Sesungguhnya, saya cukup tentram dengan kata maaf, dalam ungkapan sederhana itulah saya seringkali mengungkapkan kekhilafan yang saya perbuat, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Dan kata maaf itulah yang saya harapkan muncul dalam setiap friksi dan menjadi awal dari solusi. Tanpa perlu dipahami, tanpa perlu dimengerti.
Dibalik beragam kekecewaan saya itu, saya semakin menyadari bahwa manusia diciptakan tanpa kesempurnaan. Dalam absennya kadar kesempurnaan itu, yang bisa dilakukan hanya berusaha berkompromi, memahami dan menghargai. Meminimalisir ekspektasi, menghindari friksi, mengendalikan emosi. Rasanya tidak perlu banyak harapan menyertai, karena menerima lebih baik. Pada akhirnya, dalam segala kekecewaan dan luapan emosi berlebih, kadar kecintaan pada teman baik saya pun tak berkurang. Dalam takaran yang sulit dimengerti saya tetap merindukannya, untuk tetap memasang kuping saya dalam segala keluh kesah hidupnya, akan memasang badan saya untuk pelukan kerinduan dan perhatian. Dan terlebih, akan memasang hati saya untuk berusaha menerima setiap orang apa adanya dan menyayangi mereka tanpa banyak harapan menyertai. Tanpa emosi menghinggapi.

For my dear friend with the revolutionary bully and still lovely...hope we’ll get trough the rocky road and get along again...i’m all ears, all hearts!always!miss you...

04 February 2008

Maaf:Sederhana Namun Abadi

Saya tidak benci hanya gusar. Saya tidak dendam hanya kesal. Kesabaran itu meluap.Menumpahkan amarah, melampiaskan geram. Nyatanya tak ada beda yang saya terima. Hanya gema sembari terhentak seketika berlalu. Teraba namun tak dirasa. Terjilat namun tak ditelan. Bertingkah tak ada friksi dianggap menjadi solusi. Lalu dimana nurani?

Saya menangis bukan untuk dikasihani dan bukanlah pembenaran kalau saya bertingkah humani. Perlakukan saya lebih baik, hargai saya lebih layak hai kalian orang baik. Sampaikan maaf uraikan senyum dan itupun cukup. Sangat sederhana namun abadi sampai mati.

28 January 2008

Filosofi Berjalan Kaki

...let us slow down a bit as we keep on running in the fast lane world we living
Saya sangat menyukai hari yang bersinar cerah. Tidak terlalu panas, walaupun panas pun sesungguhnya tidak masalah untuk saya. Sebaliknya, cuaca mendung, hujan, dan dingin yang menusuk bukanlah favorit saya. Kalau cuaca bersinar cerah, rasanya senang sekali berkeliling sendiri menghabiskan hari. Ditambah lagi dengan eskrim dan semilir angin menemani nikmatnya menjadi lengkap sekali. Pilihan berjalan kaki pun semakin disenangi dan semakin sering semakin digandrungi.

Setiap saya berjalan kaki semakin saya berpikir dan mulailah berfilosofi. Setiap saya mengayunkan langkah. Sekali tapak,kaki kanan maju. Dua kali tapak, berganti kaki kiri. Hap hap hap. Bergerak maju. Selangkah demi selangkah. Setiap langkah itu menumbuhkan sejumlah harapan. Harapan bahwa setiap kaki yang diayun dan bergerak maju berarti meninggalkan kesedihan. Membuangnya dalam jejak yang ditinggalkan. Menghempaskannya di langkah sebelumnya. Menggantinya dengan jejak baru. Napas dan semilir baru yang terhembus, masuk kedalam sejumlah rongga dan dihirup dengan senyuman. Berharap ada kebahagiaan baru menunggu dalam setiap hirupannya sehingga muncul kekuatan baru yang lebih kuat untuk mengisi langkah-langkah berikutnya.

Jalan kaki tidak perlu buru-buru. Tidak perlu risau ragu dan hanya butuh waktu. Jalan kaki memberi saya sedikit ruang ditengah hidup yang terus melaju. Setidaknya melambat beberapa saat sebelum semua tekanan kembali berhembus kencang dan menuntut kita terus berlari. Kencang tidak boleh berhenti. Atau hanya akan terlewati dan terlempar. Seorang diri.

27 January 2008

welcome to the wasteland!

Welcome to the wastelands
I guess you saw the sign
Saying... plots of land to let
Where all those broken hearts can pine

A place where no-one says that you
Must get back in the game
But let you take your own sweet time
And you just let them do the same

All who walk the wastelands
Feel they're branded someone's fool
All who walk the wastelands
are hurting bad but won't let sadness rule

The landscape is forbidding
The trees are hung with dew
But no-one ever comes to visit here
For the climate or to see the view

The wastelands must stay barren
So hearts can freely sow
The seed that thrives on all their bitterness
Well-knowing it won't ever grow

All who walk the wastelands
Feel they’re branded someone’s fool
All who walk the wastelands
Know that Love can be so cruel
All who walk the wastelands
Are still missing what they had
All who walk the wastelands
Are hurting bad but won’t let sadness rule
(Wastelands-Silje Nergaard)