29 March 2008

Easy to Please

Sampai musim semi datang sebentar lagi
Pulanglah kembali kemari
Bisikkan saja dalam hati kepulangan yang dinanti

I'm crawling through landmines
Just to feel where you are
Under cover of night I put a pearl in the ground


Sampai hujan turun membasahi
Kembalilah dengan berseri
Teriakkan saja kegempitaan yang sejenak terdiam

I’m crawling through landmines
Just to feel where you’ve been
There’s gauze over my eyes
But you’re leaving this trail

Asa pun datang melihat dibalik jendela
Melirik hati-hati memuaskan rindu yang menganga

I'm crawling through landmines
I know cause I planted them
Under cover of night I put my heart in the ground

Dan asa akan terpuaskan dalam penantiannya
Dalam bisikan dan lirikan
Dalam lamunan dan kesunyian
Dalam lambaian kesederhanaan

( the lyric is taken from St.Vincent-Landmines)

25 March 2008

Alur Tersakiti Dari Sebuah Afeksi

How do you say goodbye to someone you couldn’t imagine living without?
I didn’t say goodbye...
I didn’t say anything...
I just walked away...
(My Blueberry Nights)
Sedemikian banyak orang patah hati dan terkikis mati. Mereka memilih pergi, menata kembali, berharap bangkit dan memulai lagi. Hidup saya akhir-akhir ini lebih kurang dikelilingi oleh sejumlah kisah berikut perjalanan patah hati. Sebuah kisah datang dari seorang teman yang baru-baru ini mengalaminya. Patah hati dan tersakiti. Ia refleks memilih pergi dari rutinitasnya, menemui kenyamanannya yang lain, berupaya mengusir pilunya. Kisah lain adalah sebuah cerita lama tentang paman seorang teman. Pamannya yang seorang jurnalis senior pernah memutuskan menjadi wartawan perang lantaran hendak pergi jauh mengusir patah hatinya pada si pencuri hati yang belakangan menjadi istrinya. Selain itu, kisah film yang baru-baru ini saya tonton, mengisahkan tentang perjalanan si tokoh utama demi mengusir patah hati karena sang kekasih beralih hati ke sosok yang lain. Ia pergi meninggalkan New York dalam perjalanan 300 hari mengelilingi beberapa wilayah Amerika dan bertemu beberapa kejadian serta berbagai manusia.
Beralih ke diri sendiri, kisah patah hati saya sejauh ini belum memasukkan agenda pergi dan menghilang dari rutinitas. Tidak dalam waktu dekat. Saya sendiri tidak tahu pasti seberapa kering lukanya. Namun cukuplah mengobati dalam kestatisan posisi saat ini. Walaupun keinginan pergi itu tetap terngiang di kepala, rasanya akan ada waktu yang tepat untuk itu. Mungkin suatu saat nanti.
Terkadang saya berpikir, mengapa Yang Maha menciptakan afeksi? Mengapa harus ada alur tersakiti? Dan mengapa banyak orang memilih pergi?. Perasaan memang hal paling absurd dalam kehidupan manusia. Paling tidak bisa dipahami. Terumit dari segala yang pernah ada. Itulah makanya mereka yang tersakiti cenderung ‘hancur’ dalam definisinya masing-masing. Sibuk mengobati karena memang tidak ada penawar yang pasti. Tidak mengenal resep dokter, tidak ada panadol atau procol. Mungkin lantaran bingung dengan kehancurannya, opsi pergi menjadi sebuah titik cerah. Berharap hati dapat diobati sejalan dengan eksplorasi hidup dalam ruang dan pelakon baru.

Sesungguhnya, sejauh apapun kita berlari, senyaman apapun tempat baru yang kita tuju, perasaan sakit itu tetap tinggal diam didalam hati. Berlari itu bukan obat. Berlari dan pergi hanyalah naluri yang humani bagi manusia yang tersakiti. Memang benar adanya kalau ada perkataan “masalah itu untuk dihadapi, bukan untuk dihindari”. Namun tendensi yang muncul adalah ketidakberdayaan kita untuk menghadapi masalah sedemikian rupa sehingga kita memilih untuk pergi.
Saya teringat pernah membaca sebuah artikel, didalamnya si penulis berkata “cara bernegosiasi dengan hidup adalah dengan menikmati kepedihannya”. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa cara menghadapi masalah adalah dengan menikmati masalah itu sendiri. Cara menghadapi patah hati adalah dengan menikmati perasaan patah hati itu sendiri. Dan sesungguhnya inilah bagian terberat dari seluruh rangkaian hidup manusia. Dalam perjuangan menuju kesempurnaan, bagaimana manusia bisa tetap berbesar hati dan berdiri tegak padahal badannya sudah terkoyak ingin runtuh? Bagaimana perasaan yang hancur bisa diperbaiki dengan membuka mata dan membiarkan pandangan bisa kapan saja mengecewakan kita? Dan sekecewa apapun kita, senyuman harus tetap tersungging dari bibir.

Dalam hal ini, rasanya hanya diri sendirilah yang paling mengetahui seberapa besar kekuatan diri. Tidak apa untuk meratap, asalkan tidak tenggelam dalam ratapan tak berujung. Tidak apa untuk menangis, karena itu bisa melegakan sedikit beban yang menghimpit dalam hati. Dan pada akhirnya, tidak apa untuk pergi, kalau itu bisa menentramkan hati yang terombang-ambing. Semoga setelah kembali, harapan baru bersambut dan kegembiraan baru menanti.